RESUME MODUL 10 S0SPER
Globalisasi
Pangan : Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia
Budi Widianarko
Budi Widianarko
1. Pendahuluan
Sudah
banyak yang menganggap globalisasi semakin mengarah kepada hal yang negatif.
Bukannya pemerataan kesejahteraan yang terjadi, melainkan ketimpangan yang
terjadi di dunia. Selain itu, kemiskinan juga semakin terjadi di pihak yang
lemah.Kebijakan—kebijakan rezim globalisasi juga dianggap memihak kepada
kemakmuran di pihak si kaya. Tujuan awal dari globalisasi yakni menghomogenkan
kondisi manusia dianggap tidak berhasil karena pada kenyataannya menghasilkan
polarisasi.
Kondisi
manusia di sini termasuk dalam sistem pangan. Globalisasi sistem pangan terjadi
sudah lebih dari ratusan tahun yang lalu. Jadi, fenomena globalisasi sistem
pangan ini bukanlah suatu fenomena yang baru.
2. Globalisasi pangan
Globalisasi
sistem pangan saat ini terjadi di seluruh sistemnya. Mulai dari tahap produksi,
pengolahan, hingga tahap pemasaran dan penjualan produknya.
Andalan
dari globalisasi yakni liberalisasi dan harmonisasi. Liberalisasi merupakan
wujud keterbukaan pasar. Semua hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang
harus direduksi dan bahkan dieliminasi demi terbukanya pasar bagi produk-produk
impor (McMichael, 1994). Negara barat mendesak Negara berkembang untuk
mengadopsi ideology perdagangan bebas termasuk sektor pertanian dan pangan
adalah sebuah anomaly etika. Berlainan dengan itu, negara barat memberlakukan
tarif kepada produk pertanian yang diimpor. Sedangkan harmonisasi ialah bentuk
penyeragaman standar mutu dan keamanan produk pangan.
Kesepakatan
tentang keamanan pengan tersebut lebih mencerminkan kemenangan lobi
negara—negara maju meskipun mereka mengatasnamakan konsumen seluruh dunia.
Bentuknya mereka lebuh menyesuaikan regulasi keamanan pangan yang bertitik
berat pada pengendalian proses dan pencegahan risiko dalam keseluruhan daur produksi. Konsekuensinya, produsen di negara berkembang harus mencurahkan segala daya upaya untuk melindungi konsumen di negara-negara maju. Tidak hanya itu, prinsip harmonisasi ini sering menjadi penghambat ekspor negara berkembang karena kesenjangan yang ada.
berat pada pengendalian proses dan pencegahan risiko dalam keseluruhan daur produksi. Konsekuensinya, produsen di negara berkembang harus mencurahkan segala daya upaya untuk melindungi konsumen di negara-negara maju. Tidak hanya itu, prinsip harmonisasi ini sering menjadi penghambat ekspor negara berkembang karena kesenjangan yang ada.
Globalisasi
pangan yang terjadi semakin berkembang dan semakin berkompetisi secara intensif
contohnya restoran cepat saji dan supermarket multinasional. Sehingga secara
langsung dapat berdampak pada ketersediaan dan akses terhadap pangan. Mereka
bersaing dengan menggunakan produk—produk dengan standart mutu dan keamanan
yang tinggi serta harga yang kompetitif dan kenyamanan belanja. Pada akhirnya
hal ini akan menyingkirkan pasar tradisional, agen—agen kecil, dan pada tingkat
tertentu yaitu pedagang makanan kaki lima.
Globalisasi
pangan semakin merambah di banyak bentuk. Seperti buah dan makanan olahan.
Selain memasukkan produk pangan yang diproduksi di negara lain, liberalisasi
pasar juga membuka peluang baru untuk terjadinya pengambilalihan industri
pangan lokal oleh perusahaan transnasional, demi merebut konsumen yang setia
pada merek-merek produk pangan lokal tertentu. Kecenderungan ini telah
berlangsung di berbagai Negara, termasuk Indonesia seperti dipelopori oleh
Unilever, Nestle, Danone, Del Monte, dan lain-lain.
3. Dampak Globalisasi Pangan
3.1 Ketahanan Pangan dan Pertanian Lokal
Akibat
dari terbukanya pasar, impor menjadi salah satu strategi utama bagi Negara
manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Hal ini semakin menyebabkan
ketergantungan terutama bagi negara—negara berkembang kepada negara—negara
penyediaan pangan.
3.2 Keragaman Produk Pangan
Tak
dapat dipungkiri masuknya pangan impor memberi lebih banyak alternatif pilihan
kepada konsumen. Hal ini terlihat pada semakin banyaknya keanekaragaman pangan
yang disediakan termasuk di Indonesia. Akibatnya, secara
bertahap selera konsumen akan terpola, yaitu hanya melihat bahan pangan
tertentu saja karena produk impor semakin menguasai pasaran.
3.3 Keragaman Hayati
Selain
dalam lingkup pangan, globalisasi juga telah menyebarluasan teknik—tenik budi
daya pertanian dan jenis—jenis tanaman dari Negara kaya ke seluruh dunia.
Akibatnya, sistem produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan.
Keberlanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan dengan penambahan input
terus menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida (McMechael, 1994).
Namun
pada saat yang sama, globalisasi pertanian telah mengakibatkan erosi keragaman
sumber pangan. Erosi tersebut menuntut biaya ekonomi dan sosial. Cara-cara budi
daya pertanian yang diintroduksikan oleh korporasi cenderung hanya terfokus
pada sejumlah terbatas spesies hibrida dan belakangan transgenik, disertai
penggunaan senyawa agrokimia secara massif. (Thrupp, 1998). Hal ini dapat
mengakibatkan semakin berkurangnya pengetahuan local dalam menanggapi keragaman
hayati lokal atau asli.
3.4 Keamanan Pangan dan Lingkungan
Globalisasi
sistem pangan ini lama—kelamaan akan merubah pola pangan masyarakat. Perubahan
pola pangan ini merupakan penyeragaman, selain terkait pola pangan, status
nutrisi masyarakat juga ikut diseragamkan. Akibatnya, masyarakat miskin ikut
menyeragamkan dengan menggunakan produk makanan dengan pengawet dan kualitas
rendah.
Globalisasi
juga diakui berperan dalam mendorong pengembangan teknologi rekayasa produk
pangan. Keragaman teknologi produksi dan pengemasan terutama ditujukan untuk
peningkatan umur simpan (shelf life) produk
yang memungkinkan transportasi jarak jauh. Peningkatan shelf
life seringkali mengorbankan kualitas. Semakin panjang umur
makanan tersebut semakin panjang penyebaran makanan tersebut, begitu pula.
Jadi, semakin mengglobal produk makanan tersebut berarti besar kemungkinannya
semakin besar juga penggunaan pengawet untuk menjaga ketahanan makanan.
4. Peluang Pertanian Indonesia
Pendekatan
sebatas ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan memamdai karena tantangan
yang dihadapi bersifat multidimensional menembus ranah sosial ekonomi, politik,
dan bahkan etika. Sehngga dapat diakui bahwa tidak mudah untuk mengidentifikasi
peluang survival pertanian di Indonesia. Untuk memperbesar peluang survival
pertanian Indonesia dalam menghadaapi tantangan tersebut berikut ini ditawarkan
lima strategi.
1) Advokasi perdagangan internasional
Penolakan sikap standar ganda Negara kaya
khususnya AS dalam hal subsidi hasil pertanian perlu terus disuarakan.
Pemerintah seharusnya dapat menggalang kemitraan di tingkat internasional agar
menghasilkan perdagangan global yang lebih adil.
2) Adaptasi terhadap perkembanagn teknologi
Adaptasi ini bisa berbentuk adaptasi
bioteknologi dengan menggunakan lembaga penyuluh dan pendidikan formal.
Pelatihan-pelatihan (produksi, pengolahan pascapanen, manajemen usaha tani),
penyediaan akses terhadap formasi pasar, serta pendanaan pertanian perlu
ditingkatkan untuk memperbaiki produktivitas dan efisiensi usaha para petani.
3) Produksi komoditi bernilai tinggi dan
produk alternatif
Usaha tani perlu didorong untuk
menghasilkan komoditi bernilai tinggi agar mengimbangi produk impor.
4) Pengembangan pertanian organik
Pemerintah perlu mendorong tumbuh
kembangnya usaha pertanian organik, yang menghindari penggunaan pestisida dan
pupuk kimia. Melihat kelemahan produk impor yang cenderung menggunakan bahan
kimia.
5) Peningkatan akses pasar bagi produk lokal.
Untuk menjamin produk pertanian lokal,
pemerintah harus menentukan kebijakan dengan menyentuh pasa pemasok, penjual,
dan konsumen untuk diberdayakan.
Globalisasi
Pangan : Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia
1.
Globalisasi
Pangan
Dalam
konteks sistem pangan jejak globalisasi secara kasat mata dapat dibaca dari
perubahan-perubahan yang berlangsung di sepanjang rantai pangan (food chain) sejak tahap produksi dan
pengolahan hingga ke pemasaran dan penjualan produk. Globalisasi mengandalkan
dua mantra sakti yaitu liberalisasi dan harmonisasi. Liberalisasi mewujud dalam
keterbukaan pasar. Prinsip harmonisasi mewujud dalam penyeragaman standar mutu
dan keamanan produk pangan. Pada kenyataannya, prinsip harmonisasi sering
menjadi penghambat ekspor produk pangan negara berkembang karena kesenjangan know-how dan peralatan. Sebaliknya
produk pangan dari negara maju dnegan mudah melenggang masuk ke pasar
negara-negara berkembang. Keadaan ini mngakibatkan apa yang dikenal sebagai
paradox keamanan pangan.
Decade 1990-an sering
disebutsebut sebagai periode yang paling berpengaruh terhadap proses
globalisasi pangan. Pada periode tersebut terjadi perubahan radikal dalam
sistem ritel pangan berupa pertumbuhan supermarket secara pesat di berbagai
penjuru dunia. Selain itu, peningkatan keterbukaan pasar, investasi asing, dan
tersedianya teknologi yang lebih baik dalam merunut stok dan pnegiriman pangan
juga semakin memaacu arus globalisasi.
Salah satu industri
pangan yang dewasa ini juga tengah bergerak menjadi suatu industry global
adalah bisnis buah dan sayur segar. Dari
produk-produk olahan ke buah dan sayur segar. Jika sebelumnya manusia hanya
mengkonsumsi buah segar secara musiman maka industry buah dan sayur segar telah
mampu mengubah pola tersebut, yaitu dengan menghadirkan sayur dan buah-buah off season. Beberapa pemain besar dalam
bisnis ini antara lain Dole, Chiquita, Albert Fischer, Polly Peck dan Del
monte. Di Cile salah satu pemasok terbesar buah dan sayur of season ke Eropa
dan Amerika Utara, lebih dari 50 persen ekspor buah dikuasai oleh lima
perusahaan transnasional.
Distribusi buah dan
sayur sangat bersifat padat modal dan padat energi, membutuhkan armada
pengangkut berupa truk, pesawat udara dan kapal yang semuanya harus dilengkapi
dengan kemampuan pendinginan. Sistem distribusi ini juga dihadapkan dengan
tantangan transportasi antar benua yang berjarak puluhan ribu kilometer. Situasi serupa juga
terjadi pada pasar produk pangan olahan di Indonesia.
2.
Dampak
Globalisasi Pangan.
2.1
Ketahanan
Pangan dan Pertanian Lokal
Salah satu dampak
terpenting globalisasi pangan adalah semakin rumitnya penjaminan kecukupan
pangan karena semakin terbukanya pasar. Impor menjadi salah satu strategi utama
bagi Negara manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Terancamnya ketahanan
pangan karena ketergantungan terhadap impor bahan-bahan pangan merupakan biaya
yang harus dipikul oleh Negara-negara berkembang.
2.2
.
Keragaman Produk Pangan
Tak dapat dipungkiri
masuknya pangan impor member lebih banyak alternatif piliha kepada konsumen.
Sebagai ilustrasi, produk pangan olahan impor secara signifikan menyumbangkan
keragaman pangan di Indonesia. Untuk sembilan kelompok pangan olahan, produk
pangan impor menyumbang sekitar 60 persen dari total keragaman. Untuk empat kelompok
produk, yaitu : makanan ringan, bumbu instan, minuman sari buah, dan susu
pertumbuhan, produk impor bahkan melampaui kontribusi produk domestik.
Rumah tangga
Indonesia juga semakin terpapar pada
produk pangan yang relative baru seperti sosis dan nugget. Dengan pertimbangan kepraktisan (practically), pasar pangan kita telah dipenetrasi secara meyakinkan
oleh kedua produk itu. Tingkat konsumsi nugget
selama rentang waktu 1995-2000 meningkat lebih dari dua puluh kali lipat. Pada
tahun 1995, konsumsi sosis per kapita baru mencapai 2,9 gram kemudian terus
melonjak hingga mencapai 53,3 per kapita perhari (Jonsen, 2004). Penetrasi
produk sosis di kota-kota besar kita juga cukup menyakinkan, mencapai 76 persen
(Jonsen, 2004).
Pengamatan langsung di
pasar-pasar tradisonal, di supermarket
dan hypermarket menunjukkan betapa
sistem pangan kita sudah sangat tergantung pada produk buah impor. Rak-rak di
kios-kios dan di counter buah supermarket semakin didominasi oleh buah impor:
jeruk, apel dan pir. Produk buah lokal cenderung menempati posisi marjinal.
Akibatnya, secara bertahap selera konsumen akan terpola, hanya menyiaki
segelintir buah saja.
2.3
Keragaman
Hayati
Globalisasi pertanian
telah berhasil menyebarluaskan teknik-teknik budi daya pertanian dan
jenis-jenis tanaman dari negara kayak ke seluruh dunia. Proses inilah yang
bertanggung jawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian. Akibatnya sistem
produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan. Keberlanjutan
produksi pangan hanya dapat
dipertahankan
dengan penambahan input terus-menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida.
(McMechael, 1994).
Globalisasi pangan
memang berhasil menyumbang keragaman produk pangan. Namun pada saat yang sama,
globalisasi pertanian telah mengakibatkan erosi keragaman sumber pangan. Erosi
tersebut menuntut biaya ekonomi dan sosial.
2.4 Keamanan Pangan dan
Lingkungan
Dampak
globalisasi pangan yang paling kasat mata tercermin dari perubahan pola pangan
yang terjadi. Secara gradual akan terjadi pergeseran kearah budaya pangan yang
universal. Penyeragaman ini akan mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan
status nutrisi mayarakat
Globalisasi telah
memicu terjadinya apa yang disebut oleh Kennedy et al, (2005) sebagai dietary convergence. Salah satu faktor
terpenting dibalik penyeragaman diet dan status gizi ini adalah urbanisasi dan
gaya hidup yang menyertainya. Lingkungan perkotaan tampaknya mempengaruhi
kebiasaan makan warga kaya maupun miskin dan berdampak pada status gizi dan
kesehatan. Namun globalisasi
juga diakui berperan dalam mendorong pengembangan teknologi rekayasa produk
pangan. Keragaman teknologi produksi dan pengemasan terutama ditujukan untuk
peningkatan umur simpan (shelf life) produk
yang memungkinkan transportasi jarak jauh. Peningkatan shelf life seringkali mengorbankan kualitas. Dibandingkan dengan
produk segar, kualitas gizi produk olahan umumnya mengalami perubahan sperti
denaturasi protein dan kehilangan vitamin dan enzim, oksidasi lemak dan lain-lain.
Untuk mengurangi penurunan kualitas penyimpanan seringkali dipergunakan
bahan-bahan pengawet makanan. (Wharton, 2003).
3.
Peluang
Pertanian Indonesia
Pendekatan sebatas ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak akan memamdai karena tantangan yang dihadapi bersifat
multidimensional menembus ranah sosial ekonomi, politik, dan bahkan etika.
Tidak berlebihan kiranya jika Hodges (2005) justru mengusulkan kepemimpinan (leadership) dan kearifan (wisdom) sebagai modal utama untuk
memperbaiki governance pangan global.
Untuk memperbesar peluang survival
pertanian Indonesia dalam menghadaapi tantangan tersebut berikut ini ditawarkan
lima strategi.
1) Advokasi
perdagangan internasional
2) Adaptasi
terhadap perkembanagn teknologi
3) Produksi
komoditi bernilai tinggi dan produk alternatif
4) Pengembangan
pertanian organik
5) Peningkatan
akses pasar bagi produk lokal.
(ANDRI
SAPUTRO/155040100111016/A AGRIBISNIS)
Globalisasi
Pangan : Masih Adakah Peluang bagiPertanian
Indonesia
Globalisasi mengandalkan kebijakan ekonomi
neoliberal atau sering disebut sebagai Washington Concencus.
Kebijakan-kebijakan rezim globalisasi dianggap cenderung mempertahankan
kemakmuran di pihak si kaya, membenturkan tenaga kerja tidak terampil dengan yang
terampil, mementalkan semakin banyak warga (dislocation)
dari kehidupan tradisionalnya, mereduksi akses warga miskin terhadap pangan dan
pelayanan sosial yang vital, membatasi transfer pengetahuan dan teknologi ke
negara-negara berkembang (Juhasz, 2002).
Jika dipandang sebagai sebuah
proses, globalisasi dapat dipahami sebagai makna reduksi hambatan-hambatan bagi
pergerakan lintas batas barang, jasa dan modal; meningkatnya aliran komoditi,
teknologi, informasi modal finansial, modal distribusi dan pemasaran; serta
sampai tingkat tertentu migrasi orang dan tenaga kerja (Kennedy at.al.2004).
Lebih jauh, Bouman (1998) dalam Cavalcanti(2004) menegaskan bahwa globalisasi
tidak berhasil menghomogenkan kondisi manusia melainkan justru menghasilkan
polarisasi. Sebagai salah satu
komponen utama jika bukan yang terpenting dalam perekonomian sistem pangan juga
sedang menghadapi arus kuat globalisasi. Sebenarnya dalam pangan sistem pangan
globalisasi bukan fenomena baru. Globalisasi sistem pangan telah berlangsung stidaknya
ratusan tahun yang lalu. Meskipun belum dinamai sebagai “globalisasi”
pergerakan sumber pangan tanaman dan hewan telah berlangsung dari dulu.
Globalisasi Pangan
Globalisasi pangan sama sekali bukan
fenomena yang baru. Globalisasi pangan telah berlangsung sejak ratusan atau
bahkan ribuan tahun yang lalu seiring dengan perpindahan tumbuhan dan hewan
sumber pangan sebagai buah pergerakan manusia menembus batas-batas wialayah.
Dalam konteks sistem pangan jejak globalisasi secara kasat mata dapat dibaca dari
perubahan-perubahan yang berlangsung di sepanjang rantai pangan (food chain) sejak tahap produksi dan
pengolahan hingga ke pemasaran dan penjualan produk. Globalisasi mengandalkan
dua mantra sakti yaitu liberalisasi dan harmonisasi. Liberalisasi mewujud dalam
keterbukaan pasar. Prinsip harmonisasi mewujud dalam penyeragaman standar mutu
dan keamanan produk pangan. Saat ini, penyeragaman proses, produk dan
aturan-aturan pertanian sedang berlangsung dengan intens. Meskipun kesepakatan
tentang keamanan pangan ini pasti mengatasnamakan konsumen seluruh dunia,
tetapi tetap mencerminkan kemenangan lobi negara-negara maju. Menyikapi
kesepakatan itu, negara-negara maju melakukan penyesuaian-penyesuaian regulasi
keamanan pangan mereka yang bertitik berat pada pengendalian proses dan
pencegahan risiko dalam keseluruhan daur produksi. Saat ini, kompetisi untuk
meraih pangsa pasar produk pangan cenderung semakin intensif terutama dengan
masuknya pemain-pemain baru yang perkasa seperti jaringan restoran siap saji dan
supermarket multinasional.
Salah satu industri pangan yang dewasa
ini juga tengah bergerak menjadi suatu industry global adalah bisnis buah dan
sayur segar. Diungkapkan McMichael sejak dekade 90-an telah tejadi pergeseran
permintaan dalam konsumsi buah dan sayur global, dari produk-produk olahan ke
buah dan sayur segar. Distribusi buah dan sayur sangat bersifat padat modal dan
padat energi, membutuhkan armada pengangkut berupa truk, pesawat udara dan
kapal yang semuanya harus dilengkapi dengan kemampuan pendinginan. Situasi
serupa juga terjadi pada pasar produk pangan olahan di Indonesia. Pada periode
2000-2004, Australia menempati urutan teratas negara pengekspor produk pangan
di Indonesia, dengan jumlah produk terdaftar lebih dari 434 produk terdaftar.
Dampak
Globalisasi Pangan
Menimbang jenis
dan derajat perubahan yang ditimbulkannya maka bisa dipastikan bahwa
globalisasi telah menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negative.
Pembahasan kali ini dibatasi pada dampak globalisasi pangan terhadap ketahanan
pangan dan pertanian lokal, keragaman produk pangan, keamanan pangan, dan
lingkungan serta keragaman hayati.
1.1
Ketahanan
Pangan dan Pertanian Lokal
Salah satu
dampak terpenting globalisasi pangan adalah semakin rumitnya penjaminan
kecukupan pangan karena semakin terbukanya pasar. Impor menjadi salah satu
strategi utama bagi Negara manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Terancamnya ketahanan pangan karena ketergantungan terhadap impor bahan-bahan
pangan merupakan biaya yang harus dipikul oleh Negara-negara berkembang. Dalam
perkembangannya, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Negara-negara
berkembang semakin tergantung pada negara-negara kaya dalam penyediaan pangan.
Globalisasi berhasil menempatkan AS sebagai salah satu eksportir pangan
terbesar di dunia. Pada tahun 1994 saja, ekspor AS telah mencapai 40 persen
kedelai, 17 persen beras, dan 33 persen kapas volume yang diperdagangkan di
dunia. Indonesia merupakan salah satu importer pangan terbesar bagi AS.
Seperti telah
diungkapkan sebelumnya kehadiran supermarket selain memberikan kenyamanan
belanja juga telah mendiorong pemasaran produk dengan standar mutu dan keamanan
pangan yang lebih baik dengan harga yang kompetitif. Meskipun kota sering
dianggap sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, Nef (1995) dalam Kennedy,et.al
(2005) berargumentasi bahwa fenomena hyperurbanization
atau overurbanization lebih
disebabkan oleh problem kemiskinan di pedesaan dari pada daya pikat kota itu
sendiri.
1.2
Keragaman Produk Pangan
Tak
dapat dipungkiri masuknya pangan impor member lebih banyak alternatif piliha
kepada konsumen. Sebagai ilustrasi, produk pangan olahan impor secara
signifikan menyumbangkan keragaman pangan di Indonesia. Rumah tangga
Indonesia juga semakin terpapar pada
produk pangan yang relative baru seperti sosis dan nugget. Dengan pertimbangan kepraktisan (practically), pasar pangan kita telah dipenetrasi secara meyakinkan
oleh kedua produk itu. Pengamatan langsung di pasar-pasar tradisonal, di supermarket dan hypermarket menunjukkan betapa sistem pangan kita sudah
sangat tergantung pada produk buah impor.
1.3
Keragaman
Hayati
Globalisasi
pertanian telah berhasil menyebarluaskan teknik-teknik budi daya pertanian dan
jenis-jenis tanaman dari negara kayak ke seluruh dunia. Proses inilah yang
bertanggung jawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian. Akibatnya sistem
produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan. Globalisasi
pangan memang berhasil menyumbang keragaman produk pangan. Namun pada saat yang
sama, globalisasi pertanian telah mengakibatkan erosi keragaman sumber pangan.
Erosi tersebut menuntut biaya ekonomi dan sosial.
Saat ini, budi
daya pertanian global hanya menumpukkan harapan pada beberapa biji-bijian saja,
terutama gandum, beras dan jagung. Begitu pula dengan kacang-kacangan kekayaan
plasma nutfah marga leguminoceae
tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh para petani karena kepentingan ekonomi
global hanya memprioritaskan beberapa jenis kacang saja, terutama kedelai dan
kacang tanah. Padahal pengetahuan lokal memiliki peranan yang sangat krusial
dalam pemanfaatan kekayaan hayati untuk penyediaan pangan.
1.4 Keamanan Pangan dan Lingkungan
Penetrasi produk pangan
global seperti sosis, nugget dan
burger mau tidak mau akan mempengaruhi pola pangan. Dengan demikian dampak
globalisasi pangan yang paling kasat mata tercermin dari perubahan pola pangan
yang terjadi. Globalisasi telah memicu terjadinya apa yang disebut oleh Kennedy
et al, (2005) sebagai dietary convergence.
Salah satu faktor terpenting dibalik penyeragaman diet dan status gizi ini
adalah urbanisasi dan gaya hidup yang menyertainya. Globalisasi juga diakui
berperan dalam mendorong pengembangan teknologi rekayasa produk pangan. Keragaman
teknologi produksi dan pengemasan terutama ditujukan untuk peningkatan umur
simpan (shelf life) produk yang
memungkinkan transportasi jarak jauh.
Seringkali faktor waktu
juga berkombinasi dengan faktor jarak. Globalisasi pangan cenderung
meningkatkan jarak tempuh produk pangan (Food miles). Food miles diartikan sebagai jarak kumulatif yang harus ditempuh
dan energi yang digunakan untuk meracik dan mendistribusikan komponen-komponen
suatu produk pangan dan kemasannya. Semakin panjang food miles berakibat semakin berjaraknya konsumen dari kegiatan
budi daya pertanian dan pengolahan pangan. Selain itu, yang belum banyak
disadari perpanjangan food miles juga
meningkatkan penggunaan bahan pengawet per unit produk pangan yang dihasilkan
(Iles, 2005). Keberlanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan dengan
penambahan input secara terus-menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida.
Peluang Pertanian
Indonesia
Secara jujur harus diakui bahwa tidak mudah untuk
mengidentifikasi peluang survival
pertanian Indonesia di tengah arus kuat globalisasi pangan, meminjam pernyataan
Hodges (2005): tidak ada solusi sederhana untuk persoalann globalisasi pangan
yang dihadapi Negara-negara berkembang saat ini. Lebih jauh ia mengatakan :Food is no longer simply a lokal or even a
national issue. The exploding population, shrinking world and growing
interconnections of life have turned food into a global crisis needing
dedicated national and international leadership and wisdom.
Pendekatan sebatas ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak akan memamdai karena tantangan yang dihadapi bersifat multidimensional
menembus ranah sosial ekonomi, politik, dan bahkan etika. Dalam semangat yang
sama, tulisan ini sama sekali tidak berambisi untuk dapat menawarkan solusi
yang cespleng bagi dunia pertanian Indonesia melainkan sekedar menawarkan
beberapa pilihan strategi yang ditawarkan ini dirumuskan sebagai tanggapan
terhadap tantangan-tantangan globalisasi pangan yang telah secaar serius
mengancam dunia pertanian Indonesia.
Untuk memperbesar peluang survival pertanian
Indonesia dalam menghadaapi tantangan tersebut berikut ini ditawarkan lima
strategi.
1) Advokasi
perdagangan internasional
2) Adaptasi
terhadap perkembanagn teknologi
3) Produksi
komoditi bernilai tinggi dan produk alternatif
4) Pengembangan
pertanian organik
5) Peningkatan
akses pasar bagi produk lokal.
a.
Advokasi
Perdagangan Internasional
Pemerintah dan masyarakat sipil
Indonesia perlu menggalang kemitraan di tingkat internasional untuk senantiasa
mendesakkan perdagangan global yang lebih adil.
b.
Adaptasi
Perkembangan Teknologi
Selain diplomasi
pemerintah di ranah perdagnagn internasional para petani Indonesia perlu secara
terus-menerus dikembangkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan perkembangan
teknologi, terutama bioteknologi.
c.
Komoditi
Bernilai Tinggi dan Produk Alternatif
Dalam
jangka panjang, bersaing kancah perdagangan global untuk bahan makanan pokok
dan biji-bijian, seperti gandum, beras jagung dan kedelai, mungkin sangat berat
bagi pertanian Indonesia. Kebijakan pangan murah bersubsidi dari negara-negara
kaya nampaknya masih menjadi ganjalan yang utama. Mengingat harga makanan pokok
di pasar internasional cenderung selalu lebih murah dari harga domestik, maka
secara parsial usaha tani perlu didorong untk menghasilkan komoditi bernilai
tinggi.
d. Budidaya Pertanian Organik dan
Lokal
Pemerintah
perlu mendorong tumbuh kembangnya usaha pertanian organic, yang menghindari
penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Memanfaatkan kecenderungan global yang
memberikan perferensi kepada produk-produk organik dan lokal, maka wawasan dan
kesadaran konsumen domestic tentang keamanan pangan dan food miles perlu terus dibangkitkan.
e. Peningkatan Akses Pasar Bagi Produk
Lokal
Perkembangan
jaringan supermarket dan hipermarket perlu disikapi dengan cermat. Dapat
diprediksi peran pasar generasi baru ini dalam penyediaan pangan masyarakat
akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Untuk menjamin produk pertanian
lokal masuk ke dalam rantai pasokan jaringan super hypermarket maka diperlukan
suatu intervensi kebijakan oleh pemerintah. Intervensi tersebut harus menyentuh
para pihak yaitu pemasok, penjual, dan konsumen. (Tiurmaulina Br Sianturi /
155040100111018)
Nama : Risalatul Husniyah
NIM :
155040100111019
Kelas : A
(Agribisnis)
Globalisasi Pangan : Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia
1.
Pendahuluan
Globalisasi
sebagai model ekonomi yang mengandalkan kebijakan ekonomi neoliberal atau
sering disebut sebagai Washington Concencus, hadir dalam bentuk
kebijakan-kebijakan perdagangan bebas, liberalisasi pasar uang dan modal,
deregulasi dan privatisasi ini mendominasi pengambilan kebijakan global sejak
akhir perang dunia kedua telah dianggap gagal oleh banyak pihak (lihat a.l.
Kahn, 2002; Moreira, 2002).
Dari segi proses,
globalisasi adalah reduksi hambatan-hambatan bagi pergerakan lintas batas
barang, jasa dan modal; meningkatnya aliran komoditi, teknologi, informasi
modal finansial, modal distribusi dan pemasaran; serta sampai tingkat tertentu
migrasi orang dan tenaga kerja (Kennedy at.al.2004).
Globalisasi
sistem pangan telah berlangsung sekitar ratusan tahun yang lalu. Dalam
perkembanagnnya, kini globalisasi sistem pangan menjadi lebih kompleks karena
menyangkut lebih banyak aspek dan sampai tingkat tertentu mengancam sistem
pangan lokal.
2.
Globalisasi
Pangan
Sistem pangan jejak globalisasi secara kasat mata dapat
dibaca dari perubahan-perubahan yang berlangsung di sepanjang rantai pangan (food chain) sejak tahap produksi dan
pengolahan hingga ke pemasaran dan penjualan produk. Di Indonesia sendiri,
kehadiran sejumlah buah dan sayuran segar (fresh
fruits and vegetables) dan ratusan item pangan olahan impor di hypermarket
hingga ke pasar saat ini merupakan sakah satu contoh nyata hadirnya fenomena
globalisasi pangan (Widianarko, 2005).
Globalisasi mengandalkan dua mantra sakti yaitu liberalisasi yang
mewujud dalam keterbukaan pasar dan harmonisasi yang mewujud dalam penyeragaman
standar mutu dan keamanan produk pangan.Pada kenyataannya, prinsip harmonisasi
sering menjadi penghambat ekspor produk pangan negara berkembang karena
kesenjangan know-how dan peralatan.
Sebaliknya produk pangan dari negara maju dnegan mudah melenggang masuk ke
pasar negara-negara berkembang. Keadaan ini mngakibatkan apa yang dikenal
sebagai paradox keamanan pangan.
Salah satu industri pangan yang dewasa ini juga tengah
bergerak menjadi suatu industry global adalah bisnis buah dan sayur segar.
Diungkapkan McMichael sejak dekade 90-an telah tejadi pergeseran permintaan
dalam konsumsi buah dan sayur global, dari produk-produk olahan ke buah dan
sayur segar, yaitu dengan menghadirkan sayur dan buah-buah off season. Sehingga tercipta kebutuhan buah dan sayur segar
sepanjang tahun. Pemain utamanya adalah raksasa-raksasa bisnis transnasional
yang menjembatani produsen dan pasar, antara lain Dole, Chiquita, Albert
Fischer, Polly Peck dan Del monte.
Selain memasukkan produk pangan yang diproduksi di negara
lain, liberalisasi pasar juga membuka peluang baru untuk terjadinya
pengambilalihan industri pangan lokal oleh perusahaan transnasional, demi
merebut konsumen yang setia pada merek-merek produk pangan lokal tertentu. Kecenderungan
ini telah berlangsung di berbagai Negara, termasuk Indonesia seperti dipelopori oleh Unilever, Nestle, Danone, Del
Monte, dan lain-lain.
3.
Dampak
Globalisasi Pangan
Ditinjau
dari jenis dan derajat perubahan yang ditimbulkannya maka bisa dipastikan bahwa
globalisasi telah menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negative. Pada
pembahasan ini dibatasi pada dampak globalisasi pangan terhadap ketahanan
pangan dan pertanian lokal, keragaman produk pangan, keamanan pangan, dan
lingkungan serta keragaman hayati.
a)
Ketahanan
Pangan dan Pertanian Lokal
Salah satu dampak terpenting globalisasi pangan adalah
semakin rumitnya penjaminan kecukupan pangan karena semakin terbukanya pasar.
Impor menjadi salah satu strategi utama bagi Negara manapun dalam memenuhi
kebutuhan pangan rakyatnya.
Terancamnya ketahanan pangan karena ketergantungan terhadap
impor bahan-bahan pangan merupakan biaya yang harus dipikul oleh Negara-negara
berkembang. Globalisasi berhasil menempatkan AS sebagai salah satu eksportir
pangan terbesar di dunia. Indonesia merupakan salah satu importer pangan
terbesar bagi AS.
Fenomena hyperurbanization
atau overurbanization lebih
disebabkan oleh problem kemiskinan di pedesaan dari pada daya pikat kota itu
sendiri. Paradigma global penyediaan pangan murah untuk penduduk kota-kota di
negara berkembang akan menyingkirkan petani lokal dari pasar dan sangat
beresiko memunculkan kerawanan pangan jika pada suatu saat perdagangan global
pangan mengalami gangguan.
b) Keragaman Produk Pangan
Tak dapat dipungkiri masuknya pangan impor memberi lebih
banyak alternatif pilihan kepada konsumen dan secara signifikan produk impor
telah menyumbangkan keragaman pangan di Indonesia, sekitar 60 % pada sembilan
kelompok pangan olahan. Untuk empat kelompok produk, yaitu : makanan ringan,
bumbu instan, minuman sari buah, dan susu pertumbuhan, produk impor bahkan
melampaui kontribusi produk domestik.
Pengamatan langsung di pasar-pasar tradisonal, di supermarket dan hypermarket menunjukkan betapa sistem pangan kita sudah
sangat tergantung pada produk buah impor, seperti jeruk, apel, pir, dll. Produk
buah lokal cenderung menempati posisi marjinal. Akibatnya, secara bertahap
selera konsumen akan terpola, hanya menyiaki segelintir buah saja.
c)
Keragaman
Hayati
Globalisasi pertanian telah berhasil menyebarluaskan teknik-teknik
budidaya pertanian dan jenis-jenis tanaman dari negara ke seluruh dunia. Proses
ini bertanggung jawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian, sehingga sistem
produksi pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan.
Globalisasi pangan memang berhasil menyumbang keragaman
produk pangan. Namun, globalisasi pertanian telah mengakibatkan erosi keragaman
sumber pangan. Cara-cara budi daya pertanian yang diintroduksikan oleh
korporasi cenderung hanya terfokus pada sejumlah terbatas spesies hibrida dan
belakangan transgenik, disertai penggunaan senyawa agrokimia secara massif.
(Thrupp, 1998).
Saat ini, budi daya pertanian global hanya menumpukkan
harapan pada beberapa biji-bijian saja, terutama gandum, beras dan jagung. Erosi
kekayaan hayati ini menyebabkan pengetahuan lokal yang terkait juga terkikis,
sehingga semakin sulit untuk mendapatkan produk pangan yang aman. Akibatnya
petani semakin tergantung pada teknologi yang disediakan oleh pemain
agroindustri transnasional berupa pasokan benih, pupuk dan pestisida.
(Widianarko, 2002)
d)
Keamanan
Pangan dan Lingkungan
Dampak
globalisasi pangan yang paling kasat mata tercermin dari perubahan pola pangan
yang terjadi. Penyeragaman akan mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan
status nutrisi mayarakat. Warga miskin akan didorong untuk mengonsumsi pangan
kaya energi dan pangan bermutu rendah yang murah harganya yang nantinya mereka akan
terjebak untuk selalu hanya mengonsumsi pangan kualitas rendah dan berpengawet.
Lingkungan perkotaan tampaknya mempengaruhi kebiasaan makan
warga kaya maupun miskin dan berdampak pada status gizi dan kesehatan. Pada
suatu sisi lingkungan perkotaan lebih tercemar dan padat serta mendorong gaya
hidup yang sedentary.
Globalisasi juga berperan dalam mendorong pengembangan teknologi
rekayasa produk pangan yang ditujukan untuk peningkatan umur simpan (shelf life) produk yang memungkinkan
transportasi jarak jauh. Peningkatan shelf
life seringkali mengorbankan kualitas yaitu menjadi produk berpengawet.Seringkali
faktor waktu juga berkombinasi dengan faktor jarak. Globalisasi pangan
cenderung meningkatkan jarak tempuh produk pangan (Food miles). Globalisasi
pangan telah membuat jarak antara produk pangan dengan konsumennya semakin
jauh.
Keberlanjutan produksi pangan hanya dapat dipertahankan
dengan penambahan input secara terus-menerus, berupa benih, pupuk dan pestisida
yang akan menyiskan residu pada produk pangan yang memicu ketidakamanan produk
pangan (Widianarko, 2002a).
4.
Peluang
Pertanian Indonesia
Untuk memperbesar peluang survival pertanian Indonesia dalam
menghadaapi tantangan tersebut berikut ini ditawarkan lima strategi.
1) Advokasi
perdagangan internasional
2) Adaptasi
terhadap perkembanagn teknologi
3) Produksi
komoditi bernilai tinggi dan produk alternatif
4) Pengembangan
pertanian organik
5) Peningkatan
akses pasar bagi produk lokal.
a.
Advokasi
Perdagangan Internasional
Pemerintah dan masyarakat sipil
Indonesia perlu menggalang kemitraan di tingkat internasional untuk senantiasa
mendesakkan perdagangan global yang lebih adil. Bahkan bila perlu, proposal
untuk mengecualikan pertanian dari rezim WTO bukanlah usulan naif. Dari waktu
ke waktu semakin banyak pihak menyuarakan hal itu. Advokasi ini diperlukan
untuk melindungi pasar pangan domestic dari masuknya pangan murah bersubsidi.
b.
Adaptasi Perkembangan Teknologi
Selain diplomasi pemerintah di ranah
perdagangan internasional para petani Indonesia perlu dikembangkan kemampuannya
secara terus-menerus dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terutama
bioteknologi. Dalam hal ini langkah yang amat strategis adalah dengan lembaga
penyuluhan dan pendidikan formal pertanian
c.
Komoditi
Bernilai Tinggi dan Produk Alternatif
Dalam
jangka panjang, bersaing kancah perdagangan global untuk bahan makanan pokok
dan biji-bijian, seperti gandum, beras jagung dan kedelai, mungkin sangat berat
bagi pertanian Indonesia. Mengingat harga makanan pokok di pasar internasional
cenderung selalu lebih murah dari harga domestik, maka secara parsial usaha
tani perlu didorong untk menghasilkan komoditi bernilai tinggi. Seperti
buah-buahan eksotis dan biofuel.
d. Budidaya
Pertanian Organik dan Lokal
Pemerintah perlu mendorong tumbuh
kembangnya usaha pertanian organic, yang menghindari penggunaan pestisida dan
pupuk kimia. Nantinya secara bertahap dapat diharapkan terbentuknya suatu
critical mass dalam masyarakat yang memilih opsi pangan lokal, organik dan
ramah lingkungan sebagai prioritas utama. Dengan demikian produk pertanian
organik yang diproduksi setempat akan mendapatkan jaminan pasar.
e. Peningkatan Akses Pasar Bagi Produk Lokal
Perkembangan
jaringan supermarket dan hipermarket perlu disikapi dengan cermat. Dapat
diprediksi peran pasar generasi baru ini dalam penyediaan pangan masyarakat
akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Untuk menjamin produk pertanian
lokal masuk ke dalam rantai pasokan jaringan super hypermarket maka diperlukan
suatu intervensi kebijakan oleh pemerintah. Ketahanan pengan memang perlu
diwujudkan, tetapi jangan sampai terjadi keberhasilan untuk mewujudkannya
mengorbankan kesejahteraan petani.
Globalisasi
Pangan : Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia
1. Pendahuluan
Globalisasi sebagai model ekonomi
yang mendominasi pengambilan kebijakan global sejak akhir perang dunia kedua
telah dianggap gagal oleh banyak pihak (lihat a.l. Kahn, 2002; Moreira, 2002).
Ciri utama proses globalisasi adalah penyeragaman berbagai praktik dan proses
kelembagaan, legal, ekonomi, sosial dan budaya di berbagai negara yang tidak
dapat berlangsung serempak.
Dalam perkembanagnnya, kini
globalisasi sistem pangan menjadi lebih kompleks karena menyangkut lebih banyak
aspek dan sampai tingkat tertentu mengancam sistem pangan lokal. Tulisan ini
akan membahas ciri dan dampak globalisasi terhadap sistem pangan dmestik serta
mengidentifikasi peluang pertanian Indonesia dalam menghadapi arus kuat
globalisasi.
2.
Globalisasi
Pangan
Globalisasi mengandalkan dua mantra
sakti yaitu liberalisasi dan harmonisasi. Sebagai salah satu subsitemnya,
globalisasi pangan juga takluk pada dua mantra itu. Liberalisasi mewujud dalam
keterbukaan pasar. Semua hambatan dalam bentuk tarif dan regulasi dagang harus
direduksi dan bahkan dieliminasi demi terbukanya pasar bagi produk-produk impor
(McMichael, 1994).
Prinsip harmonisasi terwujud dalam
penyeragaman standar mutu dan keamanan produk pangan. Saat ini, penyeragaman
proses, produk dan aturan-aturan pertanian sedang berlangsung dengan intens.
Meskipun kesepakatan tentang
keamanan pangan ini pasti mengatasnamakan konsumen seluruh dunia, tetapi tetap
mencerminkan kemenangan lobi negara-negara maju. Pada kenyataannya, prinsip
harmonisasi sering menjadi penghambat ekspor produk pangan negara berkembang
karena kesenjangan know-how dan
peralatan
Decade 1990-an sering disebutsebut
sebagai periode yang paling berpengaruh terhadap proses globalisasi pangan.
Pada periode tersebut terjadi perubahan radikal dalam sistem ritel pangan
berupa pertumbuhan supermarket secara pesat di berbagai penjuru dunia.
Saat ini, kompetisi untuk meraih
pangsa pasar produk pangan cenderung semakin intensif terutama dengan masuknya
pemain-pemain baru yang perkasa seperti jaringan restoran siap saji dan
supermarket multinasional. Secara langsung, perubahan yang terjadi pada sistem
pangan itu mempengaruhi ketersediaan dan akses terhadap pangan. Yang sangat
berpeluang menjadi pecundang adalah pasar-pasar pangan tradisional, agen-agen
kecil dan sampai tingkat tertentu pedagang makanan kaki lima.
Salah satu industri pangan yang
dewasa ini juga tengah bergerak menjadi suatu industry global adalah bisnis
buah dan sayur segar. Diungkapkan McMichael sejak dekade 90-an telah tejadi
pergeseran permintaan dalam konsumsi buah dan sayur global, dari produk-produk
olahan ke buah dan sayur segar.
Distribusi buah dan sayur sangat
bersifat padat modal dan padat energi, membutuhkan armada pengangkut yang harus
dilengkapi dengan kemampuan pendinginan. transportasi antar benua yang berjarak
puluhan ribu kilometer. Dengan persyaratan yang demikian berat maka tidaklah
mengherankan bahwa di dunia hanya sedikit pemain yang dapat berperan dalam
distribusi buah dan sayur ini. Dan para pemain besar inilah yang mulai masuk ke
pasar Indonesia menembus pasar tradisional dan jaringan supermarket hingga hipermarket.
Selain memasukkan produk pangan
yang diproduksi di negara lain, liberalisasi pasar juga membuka peluang baru
untuk terjadinya pengambilalihan industri pangan lokal oleh perusahaan
transnasional, demi merebut konsumen yang setia pada merek-merek produk pangan
lokal tertentu. Kecenderungan ini telah berlangsung di berbagai Negara,
termasuk Indonesia seperti dipelopori
oleh Unilever, Nestle, Danone, Del Monte,
dan lain-lain.
3.
Dampak
Globalisasi Pangan
3.1
Ketahanan
Pangan dan Pertanian Lokal
Salah satu
dampak terpenting globalisasi pangan adalah semakin rumitnya penjaminan
kecukupan pangan karena semakin terbukanya pasar. Impor menjadi salah satu
strategi utama bagi Negara manapun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Terancamnya
ketahanan pangan karena ketergantungan terhadap impor bahan-bahan pangan
merupakan biaya yang harus dipikul oleh Negara-negara berkembang. Dalam
perkembangannya, terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Negara-negara
berkembang semakin tergantung pada negara-negara kaya dalam penyediaan pangan.
3.2
Keragaman
Produk Pangan
Produk pangan olahan impor secara
signifikan menyumbangkan keragaman pangan di Indonesia. Untuk sembilan kelompok
pangan olahan, produk pangan impor menyumbang sekitar 60 persen dari total
keragaman. Untuk empat kelompok produk, yaitu : makanan ringan, bumbu instan,
minuman sari buah, dan susu pertumbuhan, produk impor bahkan melampaui
kontribusi produk domestik.
Pengamatan langsung di pasar-pasar
tradisonal, di supermarket dan hypermarket
menunjukkan betapa sistem pangan kita sudah sangat tergantung pada
produk buah impor. Produk buah lokal cenderung menempati posisi marjinal.
Akibatnya, secara bertahap selera konsumen akan terpola, hanya menyukai
segelintir buah saja.
3.3
Keragaman
Hayati
Globalisasi pertanian telah
berhasil menyebarluaskan teknik-teknik budidaya pertanian dan jenis-jenis
tanaman dari negara kayak ke seluruh dunia. Proses inilah yang bertanggung
jawab terhadap reduksi keragaman hayati pertanian. Akibatnya sistem produksi
pangan di negara-negara berkembang cenderung rentan.
Globalisasi pertanian telah
mengakibatkan erosi keragaman sumber pangan. Erosi tersebut menuntut biaya
ekonomi dan sosial.
Umumnya petani di wilayah dengan
kekayaan hayati tinggi memiliki pengetahuan lokal yang memadai untuk menjamin
ketahanan dan kemanan pangan. Erosi kekayaan hayati ini menyebabkan pengetahuan
lokal yang terkait juga terkikis. Akibatnya tidak hanya semakin sulit untuk
mendapatkan produk pangan yang aman. Reduksi keragaman hayati diikuti punahnya
pengetahuan lokal tentang pemanfaatn sumber daya hayati yang terpinggirkan. Padahal
pengetahuan lokal memiliki peranan yang sangat krusial dalam pemanfaatan
kekayaan hayati untuk penyediaan pangan.
3.4 Keamanan Pangan dan Lingkungan
Dampak
globalisasi pangan yang paling kasat mata tercermin dari perubahan pola pangan
yang terjadi. Secara gradual akan terjadi pergeseran kearah budaya pangan yang
universal. Penyeragaman ini akan mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan
status nutrisi mayarakat.
Globalisasi juga
diakui berperan dalam mendorong pengembangan teknologi rekayasa produk pangan.
Keragaman teknologi produksi dan pengemasan terutama ditujukan untuk
peningkatan umur simpan (shelf life) produk
yang memungkinkan transportasi jarak jauh. Peningkatan shelf life seringkali mengorbankan kualitas.
Globalisasi
pangan cenderung meningkatkan jarak tempuh produk pangan (Food miles). Food miles diartikan sebagai jarak
kumulatif yang harus ditempuh dan energi yang digunakan untuk meracik dan mendistribusikan
komponen-komponen suatu produk pangan dan kemasannya. Globalisasi pangan telah
membuat jarak antara produk pangan dengan konsumennya semakin jauh.
Semakin panjang food miles berakibat semakin berjaraknya
konsumen dari kegiatan budi daya pertanian dan pengolahan pangan. Selain itu,
yang belum banyak disadari perpanjangan food
miles juga meningkatkan penggunaan bahan pengawet per unit produk pangan
yang dihasilkan (Iles, 2005). Butler (2005) menyebutkan bahwa food miles juga memiliki implikasi
lingkungan, terutama penggunaan energi untuk transportasi. Efek terhadap iklim
global dari transportasi pangan berupa emisi gas-gas rumah kaca, seperti
karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
4.
Peluang
Pertanian Indonesia
Pendekatan sebatas ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak akan memadai karena tantangan yang dihadapi bersifat multidimensional
menembus ranah sosial ekonomi, politik, dan bahkan etika. Untuk memperbesar
peluang survival pertanian Indonesia dalam menghadaapi tantangan tersebut
berikut ini ditawarkan lima strategi.
6) Advokasi
perdagangan internasional
7) Adaptasi
terhadap perkembanagn teknologi
8) Produksi
komoditi bernilai tinggi dan produk alternatif
9) Pengembangan
pertanian organik
10) Peningkatan
akses pasar bagi produk lokal.
a.
Advokasi
Perdagangan Internasional
Pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia perlu
menggalang kemitraan di tingkat internasional untuk senantiasa mendesakkan
perdagangan global yang lebih adil.
b.
Adaptasi
Perkembangan Teknologi
Selain diplomasi pemerintah di ranah perdagangan
internasional para petani Indonesia perlu secara terus-menerus dikembangkan
kemampuannya dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi, terutama
bioteknologi. Dalam konteks ini lembaga penyuluhan dan pendidikan formal pertanian
menempati posisi yang amat strategis.
c.
Komoditi
Bernilai Tinggi dan Produk Alternatif
Mengingat harga makanan pokok di pasar internasional
cenderung selalu lebih murah dari harga domestik, maka secara parsial usaha
tani perlu didorong untk menghasilkan komoditi bernilai tinggi.
d.
Budidaya
Pertanian Organik dan Lokal
Pemerintah perlu mendorong tumbuh kembangnya usaha
pertanian organik. Memanfaatkan kecenderungan global yang memberikan perferensi
kepada produk-produk organik dan lokal, maka wawasan dan kesadaran konsumen
domestic tentang keamanan pangan dan food
miles perlu terus dibangkitkan. Nantinya secara bertahap dapat diharapkan
terbentuknya suatu critical mass dalam masyarakat yang memilih opsi pangan
lokal, organik dan ramah lingkungan sebagai prioritas utama. Dengan demikian
produk pertanian organik yang diproduksi setempat akan mendapatkan jaminan
pasar.
e.
Peningkatan
Akses Pasar Bagi Produk Lokal
Untuk menjamin produk pertanian lokal masuk ke dalam
rantai pasokan jaringan super hypermarket maka diperlukan suatu intervensi
kebijakan oleh pemerintah. Intervensi tersebut harus menyentuh para pihak yaitu
pemasok, penjual, dan konsumen.
Akhirnya implementasi kelima kebijakan di atas sama
sekali tidak boleh meninggalkan amanat moral dan etis pembangunan pertanian di
Indonesia, yaitu kesejahteraan petani. Sudah saatnya, tolak ukur keberhasilan
pembangunan pertanian harus digeser dari ketahanan pangan ke ketahanan ekonomi rumah
tangga petani. ( Octavia Arum B L / 155040100111020 )
Pertanyaan Diskusi
RESUME MODUL 11 S0SPER
Transformasi
ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Arief
Satria
Perkembangan
ekonomi nasional mengalami transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke
industri yang menurun dengan indikator Produk Domestik Bruto (PDB). Penurunan
PDB ini mengalami ketidakseimbangan terhadap tingkat tenaga kerja yang tidak
produktif dan tidak efisien. Perkembangan ekonomi dari pertanian ke industri
dilakukan dengan cukup gencar, cepat, berhasil, namun petani masih rendah karena sikap
mental dan budayanya yang masih “tradisional”. Sikap mereka inilah yang membawa
mereka kepada ketertinggalan.
Industrialisasi
yang seharusnya ialah perubahan secara fisik dan budaya. Sehingga
industrialisasi akan menghasilkan suatu masyarakat yang berbudaya industri,
meskipun bergerak di bidang pertanian.
Akan
tetapi berbagai persoalan pertanian muncul karena kelambanan respon organisasi
pertanian dengan kekuatan petani-petaninya menghadapi tekanan penduduk. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara industri dan pertanian.
Boeke dalam Amri Marzali (1993) menggambarkan bahwa lambatnya respon terhadap
tekanan penduduk dikarenakan adanya preferensi petani pada keperluan sosial
daripada keperluan ekonomi. Menghadapi tekanan penduduk, mereka memperluas
areal pertanian namun tetap dengan teknologi dan organisasi kerja seperti
semula. Inilah yang dikatakan Boeke sebagai static expansion.
Persoalan
lain yang muncul adalah kurangnya ketersediaan buruh tani. Faktor yang
menyebabkan masalah ini, antara lain tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban
serta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani. Buruh tani dan petani di
desa adalah angkatan tua. Dari banyaknya masalah pertanian mulai dari
menyempitnya lahan yang sangat mungkin menurunkan produksi, disertai tantangan
perdagangan bebas yang berkemungkinan membanjirnya produk impor di pasar domestik
dan menuntut daya saing, meningkatnya jumlah penduduk yang meningkatkan
kebutuhan akan produk pertanian, serta kekurangan buruh tani jelas menjadi
agenda persoalan yang harus dipecahkan.
Gagasan
pertanian yang berbudaya indusrti perlu menjadi paradigma pembangunan
pertanian. Perwujudan paradigma pertanian bervudaya industri menunjukkan
perlunya transormasi budaya. Transformasi budaya menggambarkan bahwa petani
sebagai komunitas yang dinamis. Menurut Wolf dalam Zakaria (1974) menyebutkan 3
ciri kategori petani :
1. Seorang petani (peosant) menghasilkan
komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam.
2. Seorang petani adalah pemilik atau
penggarap yang mempunyai otoritas kontrol terhadap tanah yang digarapnya.
3. Tujuan utama berproduksi bagi seorang
petani adalah untuk keperluan rumah tangganya.
Dalam
melangsungkan kegiatan pertaniannya, petani dihadapkan pada kenyataan yang
mengharuskan petani mengambil keputusan, seperti apakah harus menerima
teknologi baru atau tidak, serta apakah harus mengambil kredit atau tidak.
Budaya
dan perilaku ekonomi petani industri memiliki makna yakni cerminan dari
landasan sikap rasional sehingga lebih mengakses pada penguasaan teknologi
untuk memecu kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Ciri pertanian industri
dan budaya adalah tipe solidaritas organis. Tipe solidaritas organis ditandai
dengan adanya diferensiasi sosial melalui pembagian kerja yang tinggi. Tipe
solidaritas organis perlu dibentuk untuk mewujudkan pertanian yang berorientasi
nilai tambah (added valued). Dengan orientasi nilai tambah diharapkan mampu
meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama ini terus menurun.
Model
transformasi yang terjadi mempunyai tantangan industrialisasi dan perdagangan
bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing dan
berorientasi nilai tambah. Corak pertanian demikian adalah padat teknologi dan
berorientasi pasar. Jadi, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi
sektor tradisional modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status
saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang
dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama.
Pada
transformasi ini pemerintah memiliki peranan yang sangat penting. Peran ini
tidak hanya dalam level mikro berupa program-program pembangunan pertanian
pedesaan secara langsung, tetapi juga pada level makro yang menyangkut
keputusan politik dalam sistem ekonomi. Tantangan industrialisasi dan
perdagangan bebas yang sudah di depan mata, perlu direspon secra cepat oleh
sektor pertanian. Peran pemerintah terletak dalam mengaitkan pertanian untuk
masuk dalam skema industrialisasi di Indonesia.
Gambar tahapan perkembangan petani seperti
berikut:
Petani
primitif à Petani subsisten à Petani
komersial à Petani industri
Kesadaran
pemerintah bahwa pertanian telah dan akan mendukung industrialisasi adalah
penting. Hal itu mengingat pengalaman-pengalaman industrialisasi yang berhasil
di negara-negara maju, termasuk Korea Selatan , ternyata disebabkan
karenaposisi pertanian yang sangat kuat. Maka, mempertangguh pertanian
merupakan persyaratan bagi industrialisasi. Kisah Korea Selatan dapat menjadi
representasi model industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian.
Bagi
Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas ini, salah satu
program yang signifikan sebagai perwujudan paradigma pertanian berbudaya
industri adalah “industrialisasi pedesaan”. Industrialisasi pedesaan akan
mengoreksi dan memperbaiki keseimbangan struktur industri besar, sedang, dan
kecil (Sajogyo dan Tambunan 1991). Dalam paradigma
pertanian berbudaya industri, maka industrialisasi pedesaan tidak dimaknai
semata-mata sebagai pembangunan “industri” secara fisik dan massal di pedesaan.
Tetapi, lebih pada “ mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui
“industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan arti
mengarahkan pertanian ke cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi)
maupun budaya dan organisasi kerja.
Peran
negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi
langsung melalui program-program sebagai mana peran negara dalam revolusi
hijau, tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan
pedesaan agar kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi
industrilisasi pertanian pedesaan.
Oleh:
Rifkha Zulvani (155040100111015)
Transformasi ke Arah
Pertanian Berbudaya Industri
Pertanian Berbudaya
Industri: Paradigma Baru Pembangunan Pertanian
Pertanian memiliki berbagai
persoalan karena kelambanan respon organisasi pertanian dengan kekuatan para
pertaninya menghadapi tekanan penduduk. Demographic
determinism dianggap sebgai kerangka
untuk memahami realitas kesenjangan antara industri dengan pertanian. Pertanian sekarang
dapat diurut dari variabel tekanan penduduk dengan melibatkan variabel lainnya seperti
meluasnya batas wilayah perdagangan, meningkatnya kualitas hidup masyarakat
yang mengubah kebutuhan dan selera serta meluasnya industrialisasi. Masalah
serius yang dihadapi dalam pertanian adalah menyempitnya areal lahan, kekurangan buruh
tani, tantangan perdagangan bebas yang berkemungkinan membanjiri produk impor,
serta meningkanya jumlah penduduk. Kedepannya akan tercipta pertanian yang
berbudaya industri, artinya pertanian dikelola secara industri, dengan
organisasi kerja yang terspesialisasi, efisien, dan produktif.
Transformasi Budaya:
Dari Budaya Peasant ke Budaya
Petani-Industri
Budaya
dan Perilaku Ekonomi Petani “Peasant”
Menurut Rogers petani
merupakan subkultur dari kultur yang besar yg memiliki sepuluh ciri salah satunya perceived limited good. Menurut Boeke , lambatnya respon penduduk
Jawa terhadap tekanan penduduk karena adanya sifat limited needs (Amri Marzali,
1993). Warthon (1969) juga membuat kriteria sosial yaitu tingkat kontak keluar
relatif rendah dan motivasi yang rendah. Kemudian Wolf dalam Zakaria (1974)
membuat tiga kategori ciri petani: 1. Petani menghasilkan komoditi dengan
bercorak tanam, 2. Petani adalah pemilik atau penggarap yang mempunyai otoritas
kontrol terhadap tanah yang digarap, 3. Tujuan utama berproduksi bagi seorang
petani untuk keperluan rumah tangga. Dan masih banyak lagi teori dari pakar
lainnya namun konsep-konsep demikian perlu diverifikasi untuk konteks Indonesia
kini.
Kondisi petani di lapangan petani
yang proto-peasant atau post peasant kaLau tidak ingin dikatakan peasant,
nampaknya menjadi ciri para petani di Indonesia, setidaknya di Jawa pasca
Revolusi Hijau. Perubahan dari peasant ke post-peasant meski belum menjadi
petani komersial adalah hasil dari pembangunan pertanian selama PJP I.
Budidaya
dan Perilaku Ekonomi Petani Industri
Budaya-industri yang modern
merupakan kebalikan dari budaya peasant. Ginanjar (1996) mengidentifikasi ciri
pokok sebagai berikut:
1. Pengetahuan
merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan
2. Kemajuan
teknologi merupakan instrumen utama
3. Mekanisme
pasar merupakan media utama dalam transaksi
4. Efisiensi
dan produktivitas
5. Mutu
dan keunggulan sebagai
orientasi
6. Profesionalisme
7. Perekayasaan
harus menggantikan ketergantungan pada alam.
Selain
itu ciri pertanian akan didukung oleh budaya modern yang mengacu pada pemikiran
Alex Inkeles, budaya modern mencakup:
1. Kesediaan
untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaan bagi pembaharuan dan perubahan;
2. Memiliki kesanggupan untuk membentuk atau mempunyai
pendapat mengenai sejumlah persoalan dan hal-hal yang tidak saja timbul
disekitarnya;
3. Tanggapannya
mengenai dunia opini lebih bersifat demokratis; ia sadar akan kergaman sikap
dan opini disekitarnya;
4. Pandangannya
ditujukan pada masa kini dan masa depan, bukan masa lampau;
Ciri
pertanian-industri dan budaya modern diatas perlu dibentuk untuk mewujudkan
pertanian yang berorientasi nilai tambah(added value).
Model Transformasi
Pada pola transformasi petani diposisikan
dalam kutub tradisional, oleh karena itu
seharusnya transformasi yang dilakukan berdasarkan kenyataan empiris.
Transformasi berdasarkan asumsi bahwa petani Indonesia telah melewati masa
subsisten atau ciri-ciri peasant. Istilah yang tepat untuk petani Jawa pasca Revolusi Hijau
adalah post-peasant.
Tantangan industrialisasi dan perdagangan
bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing, dan
berorientasi nilai tambah. Jadi pertanian dan industri lebih merupakan
perbedaan occupationalstatus saja
bagi masyarakat. Transformasi menuju sosok petani –industri seolah-olah
merupakan “lompatan” dimana sehasrusnya melewati tahap petani komersial
terlebih dahulu.
Transformasi yang dimaksudkan adalah
berupa percepatan atau model evolusi yang dipercepat (accelerated evolution)dengan laju pergerakkan yang dipercepat
melalui penerapan teknologi baru yang disertai penyiapan kematangan masyarakat untuk
menggunakan dan mengembangkan teknologi tersebut. Namun accelerated evolution tidak hanya bersifat
material, tapi juga pada sikap mental dan budaya.
Variabel budaya-lokal masuk dalam kerangka
transformasi sabagai suatu landasan untuk menghindari proses alienasi kerja
akibat industrialisasi. Masalah alienasi menganggap bahwa manusia adalah homo faber atau manusia pekerja. Dan
menurut Marx kerja adalah alat penting yang dipakai manusia untuk memperoleh
makna dan memenuhi kebenaran.
Peran Negara
Peran pemerintah terhadapa
transformasi ke arah pertanian industri
meliputi mikro dan makro. Peran pemerintah
terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skenario industrialisai
di Indonesia.
Salah
satu program yang signifikan adalah “industrialisasi pedesaan” yang dimaknai
pada “mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan mengarahkan
pertanian ke cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya
dan organisasi kerja. Peran
negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi
langsung melalui program-program sebagaimana peran negara dalam revolusi hijau,
tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan
pedesaan. Kebijakan
di sector perdagangan merupakan primadona ekonomi nasional utamnya di sector
pertanian. (ANDRI SAPUTRO/155040100111016/A AGRIBISNIS)
MODUL 11
Transformasi ke Arah Pertanian
Berbudaya Industri
Pertanian
Berbudaya Industri : Paradigma Baru Pembangunan Pertanian
Kenyataan
pertanian dewasa ini sebenarnya dapat diurut dari variabel tekanan penduduk,
meskipun dalam perkembangannya telah melibatkan variabel lain, seperti
meluasnya batas wilayah perdagangan, meningkatnya kualitas hidup masyarakat
yang mengubah kebutuhan dan selera, serta meluasnya industrialisasi. Masalah pertanian
lainnya yang kini adalah kekurangan buruh tani. Banyak faktor yang menyebabkan
masalah ini, antara lain tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban serta kuran
tertariknya kalangan mudah untuk bertani.
Menyempitnya
lahan yang sangat mungkin menurunkan produksi, disertai tantangan perdagangan
bebas yang berkemungkinan membanjirnya produk impor di pasar domestik dan
menuntut daya saing, meningkatkan jumlah penduduk yang meningkatkan kebutuhan
akan produk pertanian, serta kekurangan buruh tani jelas menjadi agenda
persoalan yang harus dipecahkan .
Gagasan
pertanian yang berbudaya industri perlu menjadi paradigma pembangunan
pertanian. Sehingga, ekstensifikasi yang seringkali disertai transmigrasi tidak
sekedar berupa static expansion, yang berarti hanya akan memindahkan pertanian
konvensional-tradisional -- berbasis pada luas lahan -- serta kemiskinan .
Transformasi Budaya : Dari Budaya
peasant ke Budaya Petani-Industri
Perbedaan
corak pertanian-industri dapat dilihat dari organisasi kerjanya dimana para
petani bekerja. Organisasi kerja tidak lain merupakan cerminan dari Budaya
petani atau komunitas petani yang sangat penting dalam mewujudkan pertanian
modern.
Budaya dan Perilaku Ekonomi
Petani"Peasant"
Perwujudan
paradigma pertanian berbudaya industri perlu
adanya transformasi budaya. Perbedaan corak pertanian tradisional dari
pertanian-industri dapat dilihat dari organisasi kerjanya dimana para petani
bekerja.
Wolf
dalam zakaria (1974) membuat tiga kategori ciri petani :
1)
Seorang petani menghasilkan komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam,
berbeda dengan nelayan atau status pekerjaan lainnya.
2)
Seorang petani adalah pemilik atau penggarap yang mempunyai otoritas kontrol
terhadap tanah yang digarapnya. Dalam pengertian ini buruh tani melalui sistem
upah bukan merupakan petani.
3)
tujuan utama berproduksi bagi seorang petani adalah untuk keperluan rumah
tangganya. Petani menjual hasil taninya, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Ini berbeda dengan penanam yang menjual hasil pertaniannya
semata-mata untuk mendapatkan keuntungan demi digunakan sebagai modal.
Budaya dan Perilaku Ekonomi Petani
Industri
Budaya
industri merupakan cerminan dari landasan sikap rasional sehingga lebih
mengakses pada penguasaan teknologi untuk memacu kualitas, efisiensi, dan
produktivitas. Ginanjar mengidentifikasi ciri pokok landasan rasional dalam
pertanian-industri, adalah sebagai berikut:
(1)
Pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan, sehingga
kebutuhan terhadap perkembangan dan kualitas informasi akan semakin tunggi;
(2)
Kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumber daya;
(3)
Mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa;
(4)
Efisiensi dan produktuvitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya dan
karenanya membuat hemat dalam penggunaan sumber daya;
(5)
Mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana, sekaligus tujuan
(6) profesionalisme merupakan karakter yang
menonjol, dan pada akhirnya;
(7)
perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam
Model Transformasi
Pola
transformasi seolah mengabaikan hasil pembangunan pertanian selama ini. Oleh
karena itu, transformasi yang hendak dilakukan sebaiknya berangkat dari
kenyataan empiris. Sehingga, pemahaman terhadap realitas empiris tentang
masyarakat pertanian adalah hal yang paling pokok.Petani Indonesia, khususnya
Jawa, kini sedang dalam transisi menuju petani komersial, sebagai akibat
revolusi hijau, revolusi angkutan, serta revolusi komunikasi dan informasi.
Tantangan
industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien,
produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah. Transformasi menuju
sosok pertanian industrial seolah-olah merupakan “lompatan” dimana seharusnya
melewati tahap petani komersial terlebih dahulu. Petani komersial umumnya masih
berorientasi pada penambahan modal saja, sementara petani industri sudah
berorientasi pada nilai tambah.
Model
transformasi ke arah pertanian industrial tidak mungkin dilakukan dengan model
revolusioner yang akan mengubah total tatanan tradisional dalam organisasi
pertanian atau melompat dari subsisten langsung ke industri. Akan tetapi
transformasi yang dimaksud adalah berupa percepatan atau model evolusi yang
dipercepat.Variabel dalam budaya lokal masuk dalam kerangka transformasi
sebagai suatu landasan.
Peran Negara
Peran
pemerintah dalam transformasi ke arah pertanian industri sangatlah menentukan.
Peran ini tidak hanya dalam level mikro berupa program-program pembangunan
pertanian pedesaan secara langsung, tetapi juga dalam level mikro yang
menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi. Tantangan industriakisasi
dan perdangangan bebas yang sudah di depan mata, perlu direspon secara cepat
oleh sektor pertanian. Kesadaran pemerintah bahwa pertanian telah dan akan
mendukung industrialisasi adalah penting. Peran negara dalam industrialisasi
pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui program-program
sebagaimana peran negara dalam revolusi hijau, tatapi juga dalam kebijakan di
luar sektor pertania. (Tiurmaulina Br Sianturi / 155040100111018)
Nama : Risalatul Husniyah
NIM :
155040100111019
Kelas : A
(Agribisnis)
Transformasi ke
Arah Pertanian Berbudaya Industri
Pendahuluan
Pembangunan
ekonomi nasional telah menunjukkan adanya transformsi struktur perekonomian
dari pertanian ke industri. Indikator ekonomi yang menunjukkan penurunan serta
peningkatan pangsa industry adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Pertanian
Indonesia semakin tidak produktif dan tidak efisien, hal ini ditunjukkan oleh
ketidakseimbangan penurunan pangsa pertanian terhadap PDB dibandingkan dengan
penurunannya terhadap total tenaga kerja. Hal tersebut juga menunjukka bahwa
pendapatan perkapita tenaga kerja sector pertanian juga semakin menurun.
Proses
industrialisasi yang cukup gencar, cepat, dan “berhasil” ternyata juga belum
mengait ke belakang(backward linkage),
yakni ke sektor pertanian yang mengakibatkan produktivitas dan efisiensi petani
rendah, serta sikap mental dan budayanya masih “tradisional” yang membawa
mereka pada ketertinggalan. Oleh karena itu, seharusnya industrialisasi harus
dimaknai sebagai pembangunan “industri” secara budaya.
Pertanian Berbudaya Industri : Paradigma Baru Pembangunan
Pertanian
Demographic determinism (variabel demografis) telah
dianggap sebagai “kerangka” dalam memahami realitas kesenjangan antara industri
dan pertanian. Industri bangkit karena respon yang cepat dari sebagian
masyarakat atas tekanan penduduk melalui penemuan, penerapan, serta
pengembangan teknologi. Secara kultural, respon masyarakat juga ada yang
lambat. Hal itu dikarenakan adanya prefensi petani pada keperluan sosial
daripada keperluan ekonomi, mereka mementingkan terpenuhinya kebutuhan hidup
keluarga (orientasi subsistensi) serta ketenangan batin.
Di dalam
pertanian terdapat masalah-masalah, diantaranya adalah kekurangan buruh tani.
Hal ini disebabkan oleh tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban serta kurang
tertariknya kalangan muda untuk bertani. Hal ini sudah menjadi hal yang umum
pada pertanian Jawa.
Dengan adanya
persoalan-persoalan seperti menyempitnya lahan yang sangat mungkin menurunkan
produksi, dll, maka pertanian yang berbasis pada luas lahan dan tenaga kerja
akan semakin kurang relevan, dan yang dibutuhkan adalah pertanian yang berbasis
pada teknologi. Tetapi, hal itu perlu diperkuat dengan adanya organisasi kerja
yang terspesialisasi, efisien, dan produktif dengan budaya industrial agar
menjadi pertanian yang berbudaya industri.
Transformasi Budaya
: Dari Budaya Peasant ke Budaya
Petani-Industri
Untuk mewujudkan
paradigma pertanian berbudaya industri perlu adanya transformasi budaya.
Pemahaman terhadap variabel budaya dalam rangka transformasi mewujudkan
pertanian modern itu penting.
Budaya dan Perilaku Ekonomi Petani “Peasant”
Dalam buku
Modernization Among Peasant; The Impact of Communication (1969), petani
merupakan subkultur dari suatu kultur yang besar dengan ciri-ciri sebagai
berikut: 1) mutual distrust in interpersonal relation; 2) perceived limited
good; 3) dependence on and hostility toward government authority; 4) familism;
5) lack of innovativeness; 6) fatalism; 7) limited aspiration; 8) lack of
deferred grtification; 9) limited view of the world; 10) low empathy.
Kesepepuluh ciri tersebut saling terkait sehingga membentuk
suatu sistem budaya (subculture of
pesantry).
Kriteria sosial
budaya konsep petani menurut Wharton (1969) adalah : 1) tingkat kontak dengan
masyarakat luar (degree of “outside”
contact) relatif lebih rendah, atau sikap “lokalitas”-nya tinggi. 2)
tingkat motivasi aktualisasi diri pada umumnya masih rendah. Dalam buku Divison
of Labour in Society (1964) karya Emile Durkheim sistem budaya peasant
tergolong tipe solidaritas mekanis.
Tiga kategori
ciri petani menurut Wolf dalam Zakaria (1974) adalah : 1) Seorang petani (peasant) menghasilkan komoditi
pertaniannya dengan bercocok tanam, berbeda dengan nelayan atau status kerja
lainnya; 2) Seorang petani adalah pemilik atau penggarap yang mempunyai
otoritas kontrol terhadap tanah yang digarapnya; 3) Tujuan utama berproduksi
bagi seorang petani adalah untuk keperluan rumah tangganya (subsistence oriented).
Kriteria petani
subsisten menurut Wharton (1969) yaitu : 1) rasio hasil tani yang dijual; 2)
rasio buruh yang dipekerjakan dari total tenaga kerja yang dibutuhkan dalam
proses produksi; 3)tingkat teknologi yang mampu menggambarkan produktivitas
pertanian; 4) pendapatan dan taraf hidup petani yang masih dalam lingkaran
kemiskinan; 5) kebebasan dalam mengambil keputusan (decision making freedom) yaitu mereka tidak mempunyai banyak
alternatif untuk mengambil keputusan.
Budaya dan
Perilaku Ekonomi Petani-Industri
Budaya industri
merupakan cerminan dari landasan sikap rasional sehingga lebih mengakses pada
penguasaan teknologi untuk memacu kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Ciri
pokok landasan rasional dalam pertanian-industri menurut Ginanjar (1996) adalah
sebagai berikut: 1) pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengamilan
keputusan; 2) Kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan
sumber daya; 3) Mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang
dan jasa; 4) Efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi
sumber daya agar hemat dalam penggunaan sumber daya; 5) Mutu dan keunggulan
merupakan orientasi, wacana, sekaligus tujuan; 6) Profesionalisme merupakan
karakter yang menonjol; 7) Perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada
alam.
Dalam kerangka
Emile Durkheim, budaya modern adalah tipe solidaritas organis yang ditandai
dengan adanya diferensiasi sosial melalui pembagian kerja yang tinggi yang
nantinya akan meningkatkan hubungan saling ketergantungan sehingga tercipta
masyarakat yang heterogen. Ciri pertanian-industri dan budaya modern perlu
dibentuk untuk mewujudkan pertanian yang berorientasi nilai tambah (added value).
Model Transformasi
Berdasarkan
kerangka Redfield transformasi tidak dari petani primitif atau petani subsisten
(peasant) menuju ke petani komersial
(farmer), tetapi, transformasi
berangkat dari asumsi bahwa petani Indonesia telah melewati masa subsistensi.
Oleh karena itu istilah yang tepat untuk petani Jawa pasca revolusi hijau
adalah post peasant.
Model
transformasi ke arah pertanian industrial tidak mungkin dilakukan dengan model
revolusioner yang akan mengubah total tatanan tradisional dalam organisasi
pertanian, atau melompat dari subsisten langsung ke industri. Sebagai suatu
landasan, variabel budaya-lokal masuk dalam kerangka transformasi yang
berfungsi untuk menghindari proses alienasi kerja akibat industrialisasi.
Peran Negara
Transformasi ke
arah petanian-industri sangat ditentukan oleh peran pemerintah. Peran tersebut
berupa level mikro yang diwujudkan dalam program-program pembangunan pertanian
pedesaan secara langsung dan level makro yang diwujudkan dalam keputusan
politik dalam sistem ekonomi.Peran pemerintah dalam tantangan industrialisasi
dan perdagangan bebas terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam
skema industrialisasi di Indonesia.
Di tengah industrialisasi
dan perdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan bagi Indonesia
sebagai perwujudan paradigma pertanian berbudaya industri adalah
“industrialisasi pedesaan”. Program ini dilaksanakan dengan “mengindustrikan”
masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi” pertanian di tingkat on farm
(usaha tani) dengan mengarahkan pertanian ke cara kerja “industri” baik secara
fisik (teknologi) maupun budaya dan organisasi kerja.
Penutup
Transformasi ke
arah pertanian berbudaya industri menjadi tuntutan untuk mengakselerasi
kesiapan pertanian dalam mengimbangi cepatnya laju industrialisasi dan
perdagangan bebas. Transformasi pertanian Indonesia berangkat dari kajian
empiris yang telah menunjukkan adanya kemajuan dalam masyarakat pertanian dan
pedesaan, sehingga transformasi yang dilakukan berupa accelarated evolution melalui introduksi teknologi serta penyiapan
kematangan masyarakat untuk bekerja secara industri.
Transformasi Ke Arah Pertanian
Berbudaya Industri
Pendahuluan
Menurunnya pangsa pertanian
srta meningkatnya pangsa industri. Bukti bahwa pertanian semakin tidak
produktif dan tidak efisien adalah tidak seimbngnya penurunan pangsa pertanian
terhadap PDB dibandingkan dengan penurunannya trhadap total tenaga kerja. Hal
itu disebabkan oleh sikap mental petani dan budaya yang masih tradisional
membawa mereka pada ketertinggalan. Pembangunan industri secara budaya artinya,
industrialisasi akan menghasilkan suatu masyarakat yang berbudaya industri,
meskipun masyarakat tersebut masih bergerak di sector pertanian.
Pertanian
Berbudaya Industri : Paradigma Baru Pembangunan Pertanian
Berbagai persoalan
pertanian muncul karena kelambanan respon organisasi pertanian – dengan
kekuatan petani-petaninya – menghadapi tekanan penduduk. Lambatnya respon
terhdapa tekanan penduduk dikarenakan adanya keperluan social daripada
keperluan ekonomi, terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga serta ketenangan
batin. Variabel lain disebabkan oleh kualitas hidup yang mngubah kebutuhan dan
selera, meluasnya industrialisasi dan menyempitnya areal lahan pertanian.
Masalah pertanian lain adalah kekurangan buruh tani yang disebabkan oleh
urbanisasi. Menurunnya produktifitas pertanian disebabkankan oleh perdagangan
bebas, kurangnya lahan pertanian, dll. Oleh karena tu pertanin berbasis
teknologi sangat dibutuhkan yang didukung oleh adanya organisasi kerja dengan
budaya industrial.
Transformasi
Budaya : Dari Budaya Peasant ke
Budaya Petani-Industri
Perbedaan corak
pertanian tradisional dari pertanian -
industri dapat dilihat dari organisasi kerjanya dimana para petani
bekerja. Wharton (1969) membuat criteria social budaya untuk memahami konsep
petani. Pertama, tingkat kontak dengan masyarakat luar. Kedua, adalah tingkat
motivasi aktualisasi diri. Sistem budaya peasants tergolong tipe solidaritas
mekanis dimana masyarakatnya dibentuk oleh kesadaran konsnsus dan konsnsus
moral. Mayarakat tersebut mmiliki pandangan, kepercayaan, dan gaya hidup yang
sama, sehingga cenderung homogeny. Salah satu criteria subsistem produksi oleh
Wharton diukur dari berapa jumlah hasil tani yang dikonsumsi dan dijual.
Selanjutnya Wharton (1969) menjelaskan lebih lanjut criteria atau kualifikasi
petani subsisten. Pertama, adalah rasio hasil tani yang dijual sebagaimana
dijelaskan di atas. Kedua, adalah rasio buruh yang dipekerjakan dari total
tenaga kerja yang dibutuhkan. Ketiga, adalah tingkat teknologi yang mampu
menggambarkan produktivitas pertaniannya. Keempat, adalah pendapatan dan taraf
hidupnya. Kelima, adalah kebebasan mengambil keputusan. Untuk petani komersial
menjual hasil panennya semata-mata mencari keuntungan untuk digunakan sebagai
modal dalam usaha selanjutnya.
Budaya
dan Perilaku Ekonomi Petani – Industri
Kebalikan dari budaya peasant adalah
budaya - industry yang modern. Dalam
kerngka Emile Durkheim, budaya modern tersebut tidak lain adalah tipe
solidaritas organis yang ditandai dengan adanya diferensiasai social melalui
pembagian kerja yang tinggi. Pertanian-industri dan budaya modern perlu
dibentuk untuk mewujudkan pertanian berorientasi nilai tambah yang diharapkan
mampu meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama ini terus
menurun.
Model Transformasi
Transformasi hendaknya dilakukan
sebaiknya berangkat dari kenyataan empiris. Transformasi berangkat dari asumsi
bahwa petani Indonesia telah melewati masa subsistensi atay ciri0ciri peasant.
Dengan demikian, petani Indonesia khusunya Jawa, kini sedang mengalami masa
transisi menuju petani komersial, sebagai akibat dari revolusi hijau, revolusi
angkutn, serta revolusi komunikasi dan informasi (Collier et.al, 1996).
Mekanisasi dan komersialisasi semakin meningkat. Sementara buruh tani semakin
langka dan tenaga pertanian didominasi generasi tua. Tantangan industrialisasai
dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif,
berdaya saing, dan berorientasi nilai tambah. Corak pertanian demikian adalah
padat teknologi dan berorientasi pasar, atau yang dikelola secara industrial.
Petani komersial umumnya masih berorientasi pada penambahan modal saja,
sementara petani-industri sudah berorientasi pada nilai tambah. Variabel
budaya-lokal masuk dalam kerangka transformasi sebagai suatu landasa, dimaksudkan
untuk menghindari proses alienasi kerja akibat industrialisasi.
Peran Negara
Level mikro berupa program-program
pembangunan pertanian pedesaan secara langsung. Sedangkan level makro
menyangkut keputusan politik dalam system ekonomi. Peran pemerintah terletak
dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skema industrialisasi di
Indonesia. Kesadaran pemerintah bahwa pertanian telah dan akan mendukung
industrialisasi adalah penting. Bagi Indonesia di tengah industrialisasi dan
perdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan sebagai perwujudan
paradigm pertanian berbudaya industry adalah industrialisasi pedesaan. Peran
Negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi
langsung melalui program-program sebagaimana peran Negara dalam revolusi hijau,
tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sector pertanian dan pedesaan
agar kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi industrialisasi
pertanian pedesaan.
Penutup
Transformasi kea arah pertanian berbudaya
industry diperlukan untuk mengakselerasi kesiapan pertanian dalam mengimbangi
cepatnya laju industrialisasi dan perdagangan bebas. Dengan memperhatikan aspek
struktur social dan budaya secara mendalam. Konsep tersebut perlu diperkuat
dengan kemauan politik pemerintah. Bagaimanapun di Negara berkembang seperti
Indonesia ini peran Negara dalam mempertangguh pertanian secara merata masih
sangat penting. (Octavia Arum B L / 155040100111020)
Pertanyaan
Diskusi
1.
Apa
yang dimaksud dengan industrialisasi pertanian dan bagaimana seharusnya
memaknai industrialisasi tersebut?
Jawab :
Industrialisasi
pertanian adalah memajukan tenaga produktif pertanian menjadi lebih modern,
dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Memaknai industrialisasi
tersebut secara wajar, yaitu menerima tanpa meninggalkan sistem dan regulasi di
bidang pertanian yang telah ada. (Tiurmaulina Br Sianturi / 155040100111018)
2.
Berikan
contoh kasus di daerah kalian tentang industrialiasasi pertanian atau
transformasi ke arah pertanian berbudaya industri (sebutkan di daerah mana).
Jelaskan dampak positif maupun negatifnya!
3.
Jelaskan
bagaimana budaya dan perilaku ekonomi petani industri. Apa perbedaan dengan
budaya atau perilaku peasant?
Jawab :
Petani industri mengutamakan pengetahuan dalam mengambil keputusan, kemajuan teknologi sebagai instrument utama, pasar sebagai media transaksi utama, efisiensi produktivitas, mutu adalah orientasi utama, profesionalisme, dan tidak bergantung pada alam.
Petani (peasant) menghasilkan komoditas dengan bercocok tanam, merupakan pemilik penggarap serta pengontrol tanah, dan tujuan utama produksinya adalah keperluan rumah tangga. (ANDRI SAPUTRO/155040100111016/A AGRIBISNIS)
4.
Gambarkan
dan jelaskan tahap perkembangan petani ?
Jawab :
Jawab :
Perbandingan Masyarakat Primitif; Petani, dan
Petani Modern
Primitif (Tribe) Petani (Peasant) Petani Modern (Farmer) mamiliki ciri—ciri sebagai berikut.
a. Tribe
Primitif (Tribe) Petani (Peasant) Petani Modern (Farmer) mamiliki ciri—ciri sebagai berikut.
a. Tribe
Bertani berpindah
Kebutuhan primer&kerabat
Ada ikatan dengan tetangga
Kebutuhan primer&kerabat
Ada ikatan dengan tetangga
Surplus diserahkan ke golongan
Intensitas hubungan.dengan luar rendah
Intensitas hubungan.dengan luar rendah
Belum ada spesialisasi
Belum ada sewa tanah.
Belum ada sewa tanah.
b. Peasant
Bertani tetap
Subsisten
Ada ikatan nilai-nilai
Surplus diserahkan ke penguasa
Intensitas hub.dengan luar tinggi
Semi spesialisasi/campuran
Sudah ada sewa tanah.
c. Farmer
Rumah kaca
Keuntungan maksimum
Hubungan longgar dalam simbol
Surplus sebagai keuntungan
Bertani tetap
Subsisten
Ada ikatan nilai-nilai
Surplus diserahkan ke penguasa
Intensitas hub.dengan luar tinggi
Semi spesialisasi/campuran
Sudah ada sewa tanah.
c. Farmer
Rumah kaca
Keuntungan maksimum
Hubungan longgar dalam simbol
Surplus sebagai keuntungan
Mobilitas tinggi
Spesialisasi/profesional
Cenderung sewa
Spesialisasi/profesional
Cenderung sewa
(Rifkha Zulvani : 155040100111015 / Agribisnis A)
5.
Review
modul 11 dengan judul “Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri”
dengan bahasa kalian (Khusus no 5 tugas individu ditulis tangan).
3.